jika dipikirkan secara seksama dengan sedikit kreativitas dalam mengutak-atik pemahaman, rasanya mempertahankan eksistensi sebuah tim sepak bola serupa tapi tak sama dengan mempertahankan eksistensi sebuah negara. Dalam kesempatan ini, secara khusus saya akan membahas mengenai negara bangsa alias nation state, yang mengakui bahwa negara bangsa adalah milik bangsa, bukan perseorangan; jadi bisa dapat dikatakan pula berdasarkan demokrasi. Mengapa saya menyatakan bahwa keduanya serupa? Setidaknya ada dua gagasan yang melatarbelakangi pemikiran ini sekaligus menjadi dua unsur utama yang hendak saya bagikan pada kesempatan ini.
Pertama, mempertahankan keberadaan sebuah tim sepak bola dibutuhkan suatu regenerasi. Pemain-pemain yang sudah tua dan layak gantung sepatu mau tidak mau harus dipensiunkan. Lalu, diganti dengan pemain-pemain muda yang berbakat dan berpotensi. Regenerasi bukan hanya demi mempertahankan sebuah eksistensi, lebih dari itu, regenerasi juga berarti kesempatan untuk mewujudkan ambisi sebuah tim, menjuarai sebuah kompetisi misalnya. Seperti layaknya sebuah tim sepak bola, sebuah negara bangsa juga mau tidak mau harus terus beregenerasi demi eksistensinya sebagai sebuah negara bangsa. Namun, bagi sebuah negara bangsa regenerasi dilakukan terhadap seluruh generasi mudanya. Sebab mau tidak mau, yang tua akan kehilangan kompetensinya dalam menopang negara bangsa akibat segi fisik yang makin menurun seiring dengan bertambahnya usia. Karena itulah, generasi muda memiliki posisi yang penting dan menjadi poros bagi punah atau tidaknya sebuah negara. Selain itu, juga seperti layaknya sebuah tim sepak bola, generasi muda menjadi harapan terwujudnya cita-cita sebuah negara.
Kedua, mempertahankan sebuah tim sepak bola dibutuhkan rasa kesatuan sebagai tim. Harus seperti itu karena sepak bola bukanlah permainan antar individu melainkan antar kelompok. Esensi bermain sepak bola adalah bermain dalam tim. Jadi sikap yang dibutuhkan bukan sikap egoistik melainkan sikap mau bekerjasama. Perasaan kesatuan ini hendaknya dimiliki oleh setiap unsur dari tim sepak bola tersebut, termasuk para offisial dan manajernya. Begitu pula dengan sebuah negara, mempertahankan integritas sebuah negara bangsa diperlukan rasa kebangsaan alias nasionalisme. Integritas sebuah bangsa tidak akan bisa dipertahankan dengan kekerasan atau lewat jalan militer, kalaupun ada yang seperti itu, integritas yang terbentuk sangatlah rapuh. Jadi yang penting adalah membentuk rasa kebangsaan itu. Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk mewujudkan rasa kebangsaan. Dalam pembahasan ini, saya akan menekankan pentingnya unsur pendidikan dalam proses menumbuhkan rasa kebangsaan alias nasionalisme.
Dari dua kesamaan yang menjadi dasar pengungkapan loncatan ide ini, dapat dilihat adanya hubungan yang erat dan nyata, yaitu antara “generasi muda” dengan “pendidikan”. Dan keduanya menjadi perhatian utama dalam usaha mempertahankan integritas sebuah negara bangsa. Mengapa? Secara gamblang, rentang waktu yang disebut masa “generasi muda” itu adalah “masa pendidikannya”. Sebaliknya, “masa pendidikan” terutama diikuti oleh para “generasi muda”. Dan masa pendidikan ini dilihat sebagai sebuah kesempatan dan sarana untuk menumbuhkan rasa nasionnalisme dalam diri generasi muda yang notabene menjadi stake holders-nya (baca: anak didiknya).
Sebagai kesimpulan dari pengantar ini, saya akan memberikan dua poin penting. Pertama, rasa kesatuan atau kebangsaan atau nasionalisme adalah penting demi mempertahankan integritas sebuah negara bangsa; tentunya tanpa mengabaikan regenerasi. Tapi, pada kesempatan ini, saya menjuruskan pemikiran saya pada masalah nasionalisme karena adanya realitas yang memperlihatkan bahwa rasa nasionalisme yang seharusnya dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia itu tampaknya sudah dianggap tidak relevan lagi; non sense . Lebih parahnya lagi, banyak dari yang berpendapat seperti itu adalah generasi muda, "a generation who will one day become our national leader" begitu kata Benjamine Fine dalam bukunya 1.000.000 Deliquents . Padahal, sekali lagi, nasionalisme itu kunci integritas suatu negara bangsa. Tampaknya berbagai konflik dari berbagai daerah yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, sudah menjadi suatu bukti yang jelas bahwa nasionalisme Indonesia sudah pudar. Semangat yang dulu begitu menggebu-gebu dari founding fathers (baca: para bapa-bapa bangsa) kita dan terejawantah dalam Sumpah Pemuda serta pergerakan perjuangan selanjutnya seakan-akan hilang termakan waktu; tidak diteruskan.
Kedua, jadi dibutuhkan suatu usaha untuk merevitalisasi sense of nationalism dalam diri generasi muda pada khususnya, sebagai calon penerus bangsa. Salah satu cara yang dianggap mengena adalah jalur pendidikan karena masa generasi muda merupakan masa belajar. Perlu diperhatikan pendidikan yang akan sering muncul dalam bahasan ini adalah pendidikan dalam arti formal. Sayangnya, realitas yang ada tampaknya mereduksi semangat revitalisasi karena realitas pendidikan di Indonesia masih tergolong jelek, bahkan majalah Hidup dalam tajuk rencananya mengungkapkan bahwa pendidikan di Indonesia tergolong kelas kambing .
Dari kedua kesimpulan besar diatas, saya terdorong untuk sekedar membagikan ide-ide baik dari pengalaman maupun dari sumber referensi saya.
Nasionalisme Generasi Muda
Sebelum masuk pada bagian inti, rasanya perlu kalau pemahaman akan nasionalisme diperjelas kembali. Seperti yang telah diungkapkan dalam pengantar singkat diatas, nasionalisme amatlah penting kalau bangsa kita mau bertahan. Tapi pertanyaan yang kemudian muncul adalah nasionalisme macam apa yang hendak dipupuk. Untuk menjawab pertanyaan ini kiranya penting jika kita melihat ke belakang; meninjau ulang perjalanan sejarah bangsa ini (baca: bangsa Indonesia). Harus begitu karena nasionalisme founding fathers kita itu adalah nasionalisme yang masih fresh dan belum tercampur apa-apa. Bak ayam goreng yang baru saja matang; aromanya menggugah selera. Kiranya ada tiga poin penting yang menjadi ciri khas nasionalisme mereka. nasionalisme mereka.
Pertama, nasionalisme mereka adalah nasionalisme yang didasari oleh rasa sukarela dan tulus. Tidak ada satu pun yang merasa terpaksa untuk menganut nasionalisme. Justru pemaksaan itu dihindari. Ini tercermin dalam cara yang mereka (baca: para nasionalis) lakukan dalam bertukar pikiran dan menentukan pendapat, yaitu dengan berdialog, bahkan hingga berdebat, tapi debat yang dilakukan sama sekali tidak mempengaruhi rasa kesatuan mereka.
Selanjutnya, nasionalisme mereka adlah nasionalisme yang berorientasi pada nilai. Bagi mereka, bersatu bukanlah suatu tujuan melainkan sarana. Tujuan utama mereka amatlah luhur, yaitu keutamaan manusiawi. Sebagai contoh konkret, baiklah kita mengambil contoh ungkapan generasi '28 yang diwakili Mohammad Yamin: "...menyumbang pada kebudayaan dunia dan dunia universal." Atau bahasa generasi '45: "...ingin melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab dan keadilan sosial..."
Terakhir, nasionalisme para nasionalis itu adalah nasionalisme yang dewasa. Manifestasi dari ciri ini adalah sikap mereka yang tidak meremehkan harkat dan martabat bangsa lain. Hal itu juga tampak dalam perang pasca-kemerdekaan, para bapa bangsa kita itu lebih mendahulukan cara damai melalui usaha-usaha diplomasi dan perundingan daripada cara perang. Para bapa bangsa kita itu tidak sampai pada sikap nasionalisme yang ekstreme berupa chauvinisme atau bahkan jinggoisme.
Rasanya amatlah penting jika nasionalisme generasi muda Indonesia itu mengadopsi ketiga karakteristik dari nasionalisme para bapa bangsa kita itu. Karakteristik nasionalisme seperti itu sudah terbukti dapat mempertahankan eksistensi bangsa Indonesia walau ditekan oleh kekuatan asing, menjadi dasar semangat bangsa Indonesia dalam berjuang dan bahkan bisa mengantarkan bangsa Indonesia mencapai cita-citanya, yaitu kemerdekaan.
Pendapat yang mengatakan bahwa nasionalisme tidak relevan lagi adalah amat salah. Sekarang pun nasionalisme penting. Tanpa itu bangsa kita sudah lenyap dari muka bumi ini.
Belajar dari Sejarah
Kita mulai pemahaman ini dari suatu pemahaman dasar bahwa setiap bangsa terformat dari pengalaman bersama di masa lampau. Bahkan suatu ungkapan yang amat sering kita dengan pun mendukung pemahaman ini: experience is the best teacher. Jadi terminologi "belajar dari sejarah" bukahlah hal yang sepele, justru sebaliknya lewat sejarah itulah identitas seorang warga negara diperkokoh. Pelajaran sejarah memberikan jawaban atas pertanyaan mendasar: "siapakah aku?"; "Siapakah bangsa Indonesia?"
Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo mengungkapkan demikian: "Tidak perlu disangsikan lagi bahwa pengajaran sejarah memiliki tujuan menanamkan kesadaran nasional. Kesadaran nasional akan tumbuh melalui perkembangan politik nasional dengan gerakan-gerakan partai-partai politik yang mempunyai tujuan nasional; memupuk patriotisme degnan lambang-lambang nasional, seperti bendera, lagu kebangsaan, mata uang, dan sebagainya. Sudah tentu sejarah nasional mempunyai fungsi penting dalam soal perkembangan identitas nasional."
Seorang siswa akan mengerti bagaimana sulitnya merebut kedaulatan dengan penjajah yang begitu licik, apalagi dengan persenjataan yang jauh lebih baik. Ia juga akan memahami bagaimana proses integrasi bangsa ini, dari suatu archipelago dengan berbagai kerajaan, hingga terbentuk yang namanya hindia Belanda, Pax Nerlandica, RIS, hingga akhirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seorang siswa juga akan belajar memahami bagaimana usaha-usaha pemberontakan itu mau meluluhkan cita-cita negara kesatuan. Semuanya itu akan membentuk suatu penghargaan alias appreciation akan bangsanya (baca: bangsa Indonesia). Afeksi dari seorang siswa niscaya akan tergugah tatkala ia mengerti bagaimana para pendahulunya berjuang hingga titik darah penghabisan demi suatu tujuan yang mulia yaitu demi kesejahteraan hidup para generasi selanjutnya.
Itulah sebabnya mengapa pada zaman kolonial hampir-hampir tidak ada pelajaran sejarah Indonesia. Malahan, yang diberikan pada siswa-siswi saat itu -termasuk para inlander- adalah Vaderlandse Geschiedenis (baca: Sejarah Tanah Air), yaitu pelajaran sejarah mengenai negeri Belanda. Pelajaran sejarah itu tampak sekali mengabaikankan peran tokoh-tokoh pribumi. Dalam buku sejarah karangan W.F. Stapel, yang ditonjolkan adalah para tokoh-tokoh Belanda dan para Gubernur Jendral. Seolah-olah para tokoh pribumi hanyalah figuran yang tidak ada artinya. Bahkan, pelayaran Cornelis de Houtman ke Banten (1596) menjadi salah satu peristiwa yang dianggap mengawali zaman modern, tanpa menjelaskan keramaian perdagangan sejak ratusan tahun sebelumnya. Dengan begitu, para inlander tidak akan memiliki rasa nasionalisme, sebaliknya justru bingung akan identitasnya.
Namun tidak hanya itu, harus ada reformasi dalam pelajaran sejarah. Jangan sampai pelajaran sejarah menekankan penghapalan tahun, peristiwa, dan tokoh-tokoh saja. Namun lebih dari itu, pelajaran sejarah harus menjadi sarana para anak didik untuk menemukan identitasnya sebagai seorang warga negara Indonesia. Selanjutnya, pelajaran sejarah juga harus sampai pada pemahaman akan nilai-nilai reflektif yang terkandung dalam sejarah bangsa Indonesia.
Refleksi Pancasila
Suatu hal yang amat disayangkan karena orang sudah mulai anti terhadap refleksi Pancasila. Salah satu usaha dalam rangka itu adalah maraknya pendapat-pendapat bahwa pelajaran PPKn harus ditiadakan. Padahal sikap batin yang telah terwujud itu merupakan suatu refleksi dan rangkuman pengalaman historis Indonesia. Lebih lagi, ideologi ini sudah terlanjur dijadikan falsafah, dasar dan norma umum kehidupan bangsa Indonesia. Hanya saja, ideologi ini menjadi terkesan buruk tatkala orde baru berkuasa atas bumi Indonesia. Pada masa itu, usaha-usaha indoktrinasi lewat P4 dan PPKn amat tampak jelas menjadi metode pengajaran Pancasila. Dan karena dilakukan melalui suatu proses indoktrinasi, suatu proses yang hanya mementingkan kuantitas bahan dan hasil, Pancasila hingga kini masih sebatas hafalan, dan belum tercermin dalam kehidupan nyata. Tampak jelas pemahaman Pancasila hanya sebatas kulitnya saja, tidak mendalam.
Dalam usaha merevitalisasi "refleksi Pancasila", diperlukan suatu pemahaman terlebih dahulu mengenai latar belakangnya, sesuai yang dikatakan Bung Hatta (1978): "...maka Pancasila itu perlu dipahami sejarah pembentukannya. Dengan mengetahui itu, akan terasa makna dan tujuannya." Selanjutnya karena P4 telah ditiadakan, tampaknya PPKn dapat menjadi solusi yang tepat. Walaupun sebenarnya penataran P4 itu baik asal tidak dengan metode indoktrinatif. Sayangnya lagi, hingga saat ini, banyak siswa yang menganggap PPKn sebagai pelajaran yang membosankan. Karenanya, perlu diperhatikan bahwa pengajaran PPKn haruslah aktual, fleksibel, dinamis, kontekstual dan lebih mengutamakan metode dialog dan diskusi daripada ceramah. Bersifat aktual, artinya nyata dalam kehidupan sehari-hari, bukan suatu pengandaian. Bersifat fleksibel, artinya tidak terlalu tegang dan terikat pada buku paket, bisa dari koran atau sumber referensial yang lain. Bersifat dinamis, artinya sesuai dengan perkembangan jaman. Bersifat kontekstual, artinya sesuai dengan konteks lingkungan dan sistem sosial yang ada.
0 komentar:
Posting Komentar